Konferensi pers asosiasi umroh di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, Rabu (13/8/2025).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sebanyak 13 asosiasi penyelenggara umroh dan haji menilai pembatasan kuota haji khusus maksimal delapan persen dari total kuota haji Indonesia yang tercantum dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (RUU PIHU) merupakan kemunduran.
Mereka menilai aturan ini tidak sejalan dengan kebutuhan jamaah, terutama yang memiliki keterbatasan waktu, usia, dan kesehatan.
“Jamaah haji khusus itu juga rakyat Indonesia yang perlu dilayani oleh pemerintah dan juga para pelaku usaha. Sangat banyak, rakyat yang memilih daftar haji khusus karena faktor usia, kesehatan, cuti pendek, dan lainnya,” ujar Ketua Umum DPP Amphuri, Firman M Nur dalam konferensi pers di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Isu pembatasan kuota ini menjadi salah satu dari empat poin krusial yang diusung 13 asosiasi dalam pembahasan RUU PIHU bersama DPR dan pemerintah.
Tiga poin lainnya adalah penolakan legalisasi umroh mandiri, keterlibatan asosiasi sebagai mitra strategis pemerintah, serta peluang upgrade layanan haji reguler menjadi haji khusus.
Ketua Umum HIMPUH Firman Taufik menyoroti adanya paradoks dalam pasal 64 RUU tersebut. Pasal itu membatasi kuota haji khusus paling tinggi 8 persen, padahal dalam penjelasannya diakui penyerapan kuota tambahan haji belum maksimal.
"Haji khusus adalah solusi bagi jamaah lansia, sakit, atau terbatas waktu, serta mampu menyerap kuota tambahan yang sering tidak terserap bahkan ditolak karena keterbatasan,” ujar dia.