
SETIDAKNYA 30 persen dari total 29 ribu pengusaha penggilingan anggota Perpadi (Persatuan Pengusaha Padi dan Beras Indonesia) di Jawa Tengah (Jateng) tidak beroperasi. Salah satu alasannya mereka tidak mampu membeli harga gabah yang ditetapkan pemerintah.
"Ya sekitar 20% hingga 30% dari total 29 ribu anggota Perpadi Jateng lah, yang tutup. Jumlah pastinya penggilingan kecil yang sementara tidak beroperasional ya lumayan banyak itu," kata Ketua Perpadi Jateng, Tulus Budiono kepada Media Indonesia di Solo, Selasa (12/8/2025).
Menurut dia, para pengusaha penggilingan kecil anggota Perpadi Jateng merasa sangat terbebani dengan kebijakan pemerintah yang menerapkan harga pokok produksi (HPP) gabah menjadi Rp6.500 per kg untuk semua jenis gabah. Pada saat bersamaan, lanjut dia, pemerintah tidak menaikkan harga eceran tertinggi (HET) beras. Padahal, ujar dia, modal yang dikeluarkan para pengusaha penggilingan meningkat karena kenaikan HPP.
Dengan HET beras tetap di Rp12.500 per kg, pengusaha yang membeli gabah di atas Rp6.500 per kg sangat mengalami kesulitan menutup biaya produksi. Gejala penutupan sebenarnya sudah berlangsung sejak Juni silam.
Situasi harga yang semakin gonjang -ganjing itu, sambungnya, diperpanas dengan aksi penindakan oleh aparat penegak hukum dalam kasus beras oplosan sehingga banyak pengusaha penggikingan kecil menutup penggilingan sementara.
"Sudah sulit mendapatkan bahan gabah pada musim panen sporadis ini, harga tinggi. Pengusaha penggilingan besar berani ambil gabah sampai Rp 8000, tentu ini membuat penggikingan kecil menyerah. Jika nekat, itu jelas spekukasi tinggi, sebab lepas di pasar, bisa-bisa terkena pengawasan petugas," imbuh Tulus yang sekarang ini lebih memilih mengurus tembakau ketimbang gabah
Perpadi Jawa Tengah berharap harga gabah bisa turun sehingga produksi kembali sesuai HET dan risiko pelanggaran hukum berkurang. Lebuh dari itu, mereka juga menyayangkan keterlambatan pelaksanaan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), yang dinilai turut memperparah kondisi. (H-4)